Cerpen


…Untitled…

Semua berawal ketika aku bertabrakan dengan gadis itu.
“Maaf.” Kataku.
“Atar?” gadis itu dengan kaget menyebut namaku.
Entah kenapa sepertinya aku mengenal gadis ini. Tapi aku lupa kapan dan dimana. Otakku mulai berpikir siapa gadis ini sebenarnya? Kepalaku terasa begitu berat untuk berusaha mengingatnya. Pusing.
“Atar, kamu lupa sama aku?” Tanya gadis itu dengan penasaran.
“He-eh...” jawabku singkat.
“Atar, kita kan satu gugus saat MOPD. Kamu benar-benar nggak ingat sama sekali? Padahal kita kan sempat kenalan dulu dan kamu juga tau namaku.”
“Maaf. Tapi aku benar-benar nggak ingat.”

 
Gadis itu hanya menghela nafas dengan kesal. Apa aku salah menjawab jujur bahwa aku benar-benar tidak ingat siapa dia? Aku hanya berusaha jujur meskipun itu menyakitkan. Tapi entah kenapa, banyak nama terlintas di pikiranku. Sepertinya aku memang mengenalnya, hanya saja aku lupa siapa namanya. Pikiranku terlalu penuh untuk mengingat banyak hal. Di otakku yang ada hanyalah balapan dan balapan. Ya, aku ini hanya pembalap yang bermimpi menempati podium pertama di setiap balapan. Pada kenyataannya aku tak pernah sekalipun menempati podium impianku itu.
“Atar, kamu terlalu sibuk dengan balapan. Sampai-sampai aku saja kamu lupakan?”
“Ya, kamu benar. Lho? Kok kamu tau kalau aku memikirkan balapan? Punya indera keenam ya?” tanyaku heran. Seketika gadis itu tertawa geli mendengar perkataanku.
“Mau tau aja...kamu sih terlalu mikirin balapan.”
“Maaf.”
“Maafmu nggak aku terima.” Kata gadis itu. Tiba-tiba saja gadis itu berbalik dan pergi meninggalkanku. Dengan cepat aku cegah dia. Tapi, bagaimana aku membujuknya? Aku kan tidak tau siapa namanya. Tiba-tiba saja tanpa aku sadari sebelumnya, mulutku mengucapkan sebuah nama yang tidak pernah terpikirkan olehku.
“Lea, tunggu!” teriakku. Dan benar, gadis itu berbalik. Sepertinya aku benar menyebut namanya.
“Udah ingat namaku?” Tanya dia.
“Ya, setidaknya meskipun hanya nama, yang penting aku sudah benar menyebut namamu. Tapi maaf, aku hanya mengingat sedikit tentangmu.”
“Maka dari itu, jangan balapan terus yang dipikirin!” pintanya.
Kami pun tertawa bersama pada akhirnya. Paling tidak aku sudah mengingatnya meskipun baru namanya saja.
* * *

Lagi-lagi, balapan kali ini hanya menduduki posisi ke-7. Apa yang kurang dariku? Tidak sirkuit Sentul, Jerez, Donington, atau dimanapun sirkuit itu, tetap saja aku hanya berhasil masuk di sepuluh besar.
Di paddock aku hanya menghela nafas sambil meratapi nasibku yang tidak pernah dibanggakan sama sekali dalam dunia balap motor. Orang-orang di paddock pun hanya menepuk bahuku dengan sedikit senyum terulas dibibirnya. Aku tidak pernah mengerti maksudnya.
Aku tidak seperti Valentino Rossi yang jadi idola kaum hawa ataupun para wartawan. Padahal aku mengidolakan dia. Tapi kenapa aku tidak bisa menjadi seperti dia?
* * *

Handphoneku berdering ketika aku baru saja selesai mandi. Ternyata hanya sms.
‘Atar, ttp sMngT ya!! mskpN Kmu cMa d posisi 7. Aq yKn kmu pSti bSa Lbh baik Lg. Cia You! Viel Gluck! Good Luck! SenYum n Ttp SmaNgaT ya!! J (Lea)’
Sedikit senyum terulas dibibirku. Ada yang memberiku semangat.
* * *

Pagi ini aku harus menjalani sesi latihan balap motor lagi seperti bisaanya. Aku benar-benar memimpikan podium pertama. Entahlah, bisa aku dapat atau tidak.
“Atar.” Sebuah suara memanggilku.  “Aku mau nemenin kamu latihan. Aku lihat kamu dari paddock ya?”
“Kenapa nggak di kursi penonton aja sih?” tanyaku pada pemilik suara itu.
“Bising tau dengerin suara motor.”
“Ya udah kalo gitu.” kataku pada Lea.
Aku pun memulai latihan. Entah kenapa aku merasa bersemangat dengan kehadiran Lea. Sebelumnya aku tidak pernah bersemangat seperti ini.
Pada sesi latihan kali ini, orang-orang di paddock memujiku. Mereka bilang aku mengalami kemajuan yang begitu pesat. Biasanya aku hanya menduduki posisi ke-15 saat sesi latihan, tapi entah ada angin apa, hari ini aku menduduki posisi ke-7.
Selesai latihan, Lea memberiku handuk dan minuman ringan dengan senyumnya yang manis. Ada yang beda pada diriku hari ini. Aku tidak merasakan lelah sama sekali. Senyuman seseorang membuatku lebih bersemangat hari ini. Senyum Lea.
Selama di paddock, aku ditinggal berdua dengan Lea, sementara yang lain pergi entah kemana. Lea berbicara panjang lebar tentang latihanku hari ini. Ia memujiku.
“Kamu hebat, Atar. Te-o-pe deh!!”
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Baru dia satu-satunya orang yang memberiku semangat dan memuji hasil balapanku, meskipun tidak terlalu bagus hasilnya.
“Kamu harus yakin kalo kamu bisa naik podium satu. Kamu kan udah berusaha sebisa kamu. Yang penting sekarang kamu rajin latihan aja! Pasti di balapan nanti kamu akan naik posisinya. Meskipun nggak bisa langsung naik podium satu. Dan kamu harus tetep semangat, nggak boleh males! Ntar kalo beneran naik podium satu, ajak aku keliling Bogor pake motor balap kamu ya!” kata Lea sambil mengangkat jari kelingkingnya. Aku pun membalas jari kelingking yang kecil itu dengan mengaitkan jari kelingkingku.
* * *

Hari ini aku memulai balapanku yang ke-7. Balapanku kali ini dilaksanakan di sirkuit Sentul, Bogor. Rumahku tidak terlalu jauh dari sirkuit dan kebetulan aku juga sering latihan di sirkuit itu. Tapi sayangnya, meskipun aku sering latihan di tempat itu bukan berarti aku sudah menguasai sirkuit itu. Di setiap tahun aku selalu kalah di sirkuit ini. Mungkin lebih tepatnya aku selalu kalah di sirkuit manapun.
Lea juga hadir dan dia khusus menyaksikanku dari paddock bersama rekan-rekanku. Sebelum aku memulai balapan, dia memberikan semangat padaku.
“Atar, kamu nggak boleh ragu dalam balapan. Yakinkan diri kamu untuk terus melaju di setiap trek! Oke!” ujarnya dengan penuh senyum dan semangat.
“Tapi aku takut gagal lagi. Aku selalu kalah dan kalah. Dan aku udah benar-benar terpuruk. Kalau tahun ini aku nggak naik ke podium tiga besar, aku akan mengundurkan diri  jadi pembalap.” Kataku dengan begitu lemasnya.
“Kok gitu? Kan kamu udah janji sama aku, kalo kamu mau ngajak aku keliling Bogor kalo kamu menang dan naik podium satu.”
“Tapi aku takut. Aku pasti gagal lagi kali ini.” Aku sudah mulai berputus asa sebelum memulai balapan.
“Kamu nggak boleh gitu, Atar! Kamu harus yakin kalo kamu bisa. Aku janji deh, kalo kamu menang, aku akan nemenin kamu di setiap latihan dan balapan.” Kata Lea sambil menggenggam tanganku yang begitu dingin. Tapi entah kenapa, tiba-tiba saja rasanya tanganku ini menjadi hangat karenanya.
Aku pun menarik nafas dalam-dalam dan berdoa agar Tuhan memberiku kesempatan untuk menang kali ini. Aku melihat kesekelilingku yang merupakan pembalap-pembalap juga. Kebanyakan dari mereka sudah berhasil naik podium, kecuali beberapa orang termasuk aku. Tapi kali ini aku harus menang. Ada orang yang berharap besar padaku.
Di trek balapan saat tikungan kekiri, aku merasa ada yang aneh pada motorku, namun aku tetap melaju dengan kecepatan maksimal. Disampingku sebenarnya sudah ada Kallio, dari Red Bull KTM yang pada musim balapan kali ini sudah beberapa kali naik podium tiga besar. Aku tidak tahu ada di posisi berapa. Di seberang lintasan aku melihat salah satu rekanku memberi petunjuk bahwa aku berada pada posisi lima dan aku bersaing dengan Kallio juga Lucas Pesek.
Aku semakin mempercepat laju motorku. Aku berharap ada kesempatan untuk menyaingi Bautista yang sudah ada di posisi pertama dan Barbera pada posisi kedua.
Disaat memasuki last lap, aku masih berada di posisi kelima. Aku mulai berputus asa, tapi masih ada harapan karena garis finish masih terlalu jauh. Mungkinkah aku sempat untuk mengejar pembalap yang berada didepanku?
Makin kupercepat  laju motorku. Tanpa basa-basi aku berhasil melewati Aoyama di posisi keempat. Aku pun semakin bertambah cepat karena trek lurus yang sekarang sedang kuhadapi. Aku masih berusaha untuk melewati Takahashi yang ada di posisi ketiga. Disaat aku ragu-ragu untuk menyalipnya, terlintas bayangan seseorang dan terngiang pula perkataannya padaku. Ya, aku tidak boleh ragu di setiap trek. Dengan cepat aku menyalip Takahashi dan sepertinya dia tidak terima aku salip. Takahashi berusaha menyalipku lagi, tapi sayang aku sudah terlalu jauh untuk dikejar olehnya. Sekarang aku berhadapan dengan dua pembalap besar didepanku. Kutarik nafas dalam-dalam dan semakin kupercepat laju motor Yamaha-ku. Aku meyakinkan diri dalam hati bahwa aku pasti bisa. Aku tak lagi memperhatikan teriakan-teriakan suara penonton. Dan detik berikutnya, beberapa meter sebelum garis finish Bautista terjatuh dan aku hanya tinggal berhadapan dengan Barbera. Aku semakin percaya diri, meskipun pada akhirnya aku hanya akan finish di posisi kedua.
* * *

Riuh suara penonton makin menggema ketika menyaksikan pemberian piala beserta medali kepada para juara. Dan aku tak pernah menyangka bahwa impianku terkabul saat ini. Ya, aku berada di podium satu. Aku berhasil menaiki podium kebanggaan setiap pembalap. Aku berhasil meraih impianku selama ini.
Aku berdiri sambil menerima hadiahku. Aku masih tak percaya bahwa aku berhasil menyaingi Barbera yang sekarang menaiki podium kedua dan Kallio yang melesat cepat hingga berada di podium ketiga saat ini. Aku tersenyum puas dan riang gembira menyelimuti hatiku saat ini. Akan kubagi kebahagiaanku dengannya. Akan kubagi denganmu, Lea.
Selesai balapan, aku menghampiri rekan-rekanku yang berada di Paddock. Mataku mencari ke setiap sudut ruangan itu, tapi aku tak menemukannya.
“Kemana Lea?” tanyaku pada salah satu rekanku.
“Tadi dia pingsan dan dari hidungnya terus menerus mengeluarkan darah segar. Karena panik, beberapa orang segera membawanya kerumah sakit. Sepertinya Lea sakit parah, Atar.”
Mendengar hal itu aku segera mencari tahu ke rumah sakit mana Lea dibawa. Aku berlari dan meminta izin untuk keluar. Segera kunyalakan motor balapku yang baru saja selesai dipakai untuk balapan. Beberapa wartawan dan pembalap lain sempat menghampiriku untuk memberi selamat, tapi aku tak menghiraukan mereka. Ada yang lebih penting dari hal ini.
Sesampainya di rumah sakit, aku bergegas mencari ruangan dimana Lea di rawat. Orang-orang di rumah sakit memperhatikan kepanikkanku. Mereka semua menoleh padaku dan aku tidak peduli sama sekali. Aku terus berlari dan bertanya dimana ruangan Lea. Dan tepat disaat aku sampai disebuah ruangan, beberapa orang di dalam ruangan tersebut menoleh padaku yang nafasnya masih terengah-engah. Beberapa diantara mereka menghampiriku dan menyuruhku untuk bersabar sambil menepuk bahuku. Dan beberapa orang di dalam ada yang tertunduk diam, menggeleng-gelengkan kepalanya seakan tidak percaya, dan menangis terisak-isak. Ada apa ini? Tanyaku dalam hati.
Perlahan kulangkahkan kakiku untuk memasukki ruangan itu. Kulihat seseorang terbaring lemah tak berdaya sambil terselimuti kain putih di atas tempat tidurnya. Matanya tertutup dengan wajah yang pucat pasi. Tak ada gerak sedikit pun dari gadis yang terbaring itu. Perlahan kulihat darah segar mengalir dari hidungnya. Dan tak bisa kutahan lagi, air mataku menetes dan aku spontan terduduk di dekatnya.
Aku masih terisak. Lea pergi.
* * *

Ku pandangi piala dan medaliku satu persatu. Dimulai dari peringkat akhir sampai peringkat pertama. Ku pandangi foto-fotoku saat balapan dan kukenang kembali masa-masa disaat aku gagal sampai aku berhasil. Dan aku terdiam disaat mataku melihat sebuah foto seorang gadis yang sedang tersenyum manis. Sampai sekarang, aku masih mengingatnya. Dialah gadis yang sempurna bagiku. Gadis yang memberiku semangat disaat diriku lemah dan terjatuh. Dengan senyumnya dia terus memberiku semangat, hingga akhirnya aku bisa berhasil meraih impianku. Tapi disaat aku berhasil dan tertawa bahagia, aku tak bisa berbagi dengannya. Dia terlalu cepat untuk pergi meninggalkanku.
“Mengapa kamu harus pergi secepat ini, Lea? Aku belum mengajakmu jalan-jalan keliling Bogor. Dan kamu juga baru sebentar nemenin aku latihan dan balapan. Kamu kan janji mau nemenin aku terus.” Ucapku lirih. Perlahan air mataku kembali menetes, tepat seperti di saat Lea pergi meninggalkanku.
Aku yakin satu hal, pasti Tuhan memberikan tempat terbaik untuknya. Dan Aku percaya bahwa di tempat itu, Lea selalu tersenyum untukku dan keberhasilanku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Kamu :)

contoh soal dan jawaban Pengantar Teknologi Sistem Informasi

Praktikum ooh Praktikum